Ensoulment and Desoulment

A concept people use to discuss abortion though they are irrelevant. Most of us understand only what is prescribed in limited words. What could it be? Where are all the misconceptions? Do you really…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




memory

Setelah tiga tahun berlalu, Faith dapat membukakan pintu rumahnya lagi untuk Gio. Memori buruk yang melibatkan Gio di rumah ini akhirnya bisa diganti dengan memori baru yang baik.

Tadi, Gio disambut dengan sangat hangat. Tidak ada rasa canggung sama sekali. Mama Lulu langsung memeluknya, Papa Toni merangkul dan menepuk-nepuk pundaknya, dan si kecil Faya juga meminta pelukan darinya.

“Abis lulus kamu rencananya mau gimana, Gi?” tanya Papa Toni yang duduk di ujung meja. Makan siang mereka sudah selesai, sekarang hanya berbincang-bincang singkat saja selagi menyantap mango sago bikinan Mama Lulu sebagai pencuci mulut.

“Masih mikir-mikir sih, Om,” jawab Gio. “Niatnya mau coba intern di beberapa tempat dulu, supaya ada bayangan nanti pas udah lulus.”

“Oh iya, bagus itu,” Papanya mengangguk-ngangguk. “Jangan kayak Faith, tuh,”

“Faith kenapa, Om?” Gio mengerutkan dahi, tersenyum agak bingung lalu menengok ke dirinya sekilas. Faith hanya bisa menghela napas.

“Sibuk nge-band terus.” jawabnya. “Gak tau tuh, kuliahnya gimana.”

“Kuliah aku aman, Pa.” Faith menjawab dengan datar. Mood di meja makan pun seketika berubah. “Nilai juga masih bagus kok.”

“IPK kamu turun, kan?” Papanya bertanya. “Gara-gara kebanyakan nge-band, itu.”

“Turunnya cuman 0,03 doang, Pa. Masih cumlaude juga.” Faith mencoba membela dirinya. Mama Lulu yang duduk di seberang Faith menatap khawatir suami dan anaknya. “Aku nge-band kan juga nggak asal-asalan doang. Beneran kerja, dapet duit,”

“Mas, Abang, udah. Nanti aja diobrolinnya. Ini kita lagi ada tamu loh,” Mama Lulu masuk ke dalam pembicaraan, mencoba membujuk keduanya. Gio, tamu yang dimaksud, sekarang bingung harus berkata atau melakukan apa.

“Gak apa-apa, Lu. Biar Gio sekalian bisa kasih tau dan ajarin Faith buat prioritasin kuliah,” bantah Papa Toni. “Kamu itu masih mahasiswa, harusnya fokus kuliah aja. Papa sama Mama bayarin kamu kuliah bukan buat absensi doang.”

“Kuliah aku nggak akan keganggu, Pa. Aku kan juga udah bilang sama Papa Mama dari awal, sebelum tanda tangan kontrak aku sama temen-temen udah mastiin kalo kita masih bisa kuliah.” Faith menegakkan duduknya. Sorot mata Faith kehilangan kehangatannya, diganti kekesalan dan seberkas kekecewaan.

“Buktinya IPK kamu turun, tuh?! Berarti tetap keganggu, kan?” Papanya bersikeras.

“Dikit banget turunnya, Pa! Aku sekarang masih semester 4. Aku masih punya waktu untuk naikkin IPK aku lagi!” Faith semakin kesal.

“Bisa aja nggak naik lagi juga, kan!” Nada bicara Papa Toni mulai meninggi.

Merasa situasi bertambah sulit untuk dikendalikan, Mama Lulu segera mengajak Faya dan Gio meninggalkan meja makan. Faith menyadari Gio menengok sekali ke arahnya dengan raut wajah khawatir saat mereka bertiga menaiki tangga menuju lantai dua.

“Ya terus aku harus gimana, Pa? Tiba-tiba berhenti nge-band, gitu? Kalo emang Papa gak suka banget aku nyanyi, kenapa Papa dukung-dukung aja aku nyanyi dari kecil?” Faith meminta penjelasan.

Faith tidak salah. Dari dulu, Papa Toni tidak pernah melarang Faith untuk bernyanyi atau bermain musik. Papanya juga beberapa kali tampil bersama Faith, Gio dan Papa dari Gio di acara kompleks perumahan ini dulu.

Bahkan, dulu Papa Toni juga anak band. Tidak sampai seterkenal CHNZL sekarang, memang, dan band-nya juga bubar. Tapi seharusnya Papanya mengerti dong, rasanya jadi anak band?

“Ya karena dulu itu hobi, bukan jadi karir! Karir di industri musik itu nggak menjanjikan, Faith. Gimana hidup kamu nanti!” Papa Toni berseru dengan amarah.

“Gak menjanjikan gimana sih, Pa?! Buktinya sekarang aku udah bisa ngehasilin uang. Semua kebutuhan aku nge-band juga aku bayar pake uangku!” jawab Faith tak kalah marah karena merasa omongan Papanya kurang masuk akal.

“Kamu yakin bisa terus-terusan punya uang dari nge-band? Oke kamu sukses sekarang, terus kalo nanti nggak sukses lagi gimana? Back-up plan-nya apa?” Faith dicecar dengan banyak pertanyaan.

“Papa kenapa mikirnya langsung jelek-jeleknya sih, Pa?” mata Faith mulai berkaca-kaca. “Kenapa nggak coba percaya aja sama aku dulu? Kalau ternyata aku makin sukses gimana? Aku pun juga akan tetep kuliah, Pa. Aku juga mau lulus. Gak akan aku telantarin!”

“Bukan mikir yang jelek-jelek, Faith. Ini Papa mau ngasih reality check aja buat kamu. Boleh sekarang seneng-seneng nge-band sama temen-temen, tapi udah sampe situ aja. Nge-band gak lukratif! Gak akan ada masa depannya!”

Satu persatu air mata Faith mulai membasahi pipinya. Dari semua adu mulut yang terjadi antara dia dan Papanya mengenai topik ini, pembicaraan hari ini adalah yang paling menyakitkan. Amarahnya seketika hilang, digantikan dengan kesedihan dan kekecewaan.

Apa yang pernah dia lakukan sampai Papanya benar-benar tidak percaya pada dirinya? Apa dia pernah membuat kesalahan fatal? Apa mungkin selama ini dia kurang membuktikan bahwa dia bisa bertanggung jawab?

“Aku nggak ngerti apa yang bikin Papa sampe segininya,” Faith mencoba mengelap air matanya, tapi malah turun semakin deras. “Tapi aku mau nyanyi terus, Pa. I’m the happiest when I’m on stage. Aku akan berusaha sekeras mungkin supaya bisa tetap kayak sekarang atau malah lebih. Gak ada jaminan memang, tapi aku akan berusaha, aku gak bohong. Aku gak akan repotin Papa dan Mama soal nyanyi atau nge-band. Papa sama Mama nggak perlu ngurusin, nggak perlu beliin apa-apa. Jadi tolong banget, Pa, jangan paksa aku berhenti nyanyi. Aku janji aku bakalan lebih giat lagi belajar. Aku kejar IPK-ku supaya naik lagi. Kalo Papa sama Mama nggak mau bayarin aku kuliah lagi gak apa-apa, aku cari uang send — ”

“Faith, sayang, udah,” Mama Lulu tiba-tiba muncul dan memeluk Faith, menghentikan racauannya. “Biar Mama ngomong sama Papa. Kamu ke kamar aja sana. Ada Gio,”

Faith menyandarkan kepala di pundak Mama Lulu, memeluk balik dengan erat. Air matanya masih mengalir tanpa bisa dibendung. Baru kali ini Faith sampai menangis setelah berargumen dengan Papa Toni. Entah karena lelah bercampur kesal, entah karena kata-kata yang dilontarkan Papa, entah karena malu argumennya dengan Papa didengar oleh Gio.

Melepaskan pelukan Mamanya, Faith berdiri lalu berjalan agak cepat menuju tangga untuk ke lantai dua. Sampai di lantai atas, Faith langsung membuka pintu kamarnya dan mendapati Gio sedang duduk memainkan handphone di bean bag yang memang dia taruh di kamar.

“Eh, Faith!” Gio berseru kaget karena Faith membuka pintunya agak kencang.

Tanpa berkata apa-apa, Faith menghampiri Gio dan menjatuhkan badannya di atas badan laki-laki tersebut. Mata Gio pun membelalak, kaget karena tiba-tiba dipeluk. Selama beberapa detik kedua tangannya menggantung di udara, bingung harus ditaruh dimana.

Gio kemudian merasakan baju di daerah pundaknya mulai basah. Sadar bahwa Faith butuh ditenangkan, Gio segera menaruh handphone-nya asal di lantai lalu membalas pelukan Faith.

Tangis Faith pun pecah lagi.

Dengan lembut dan sayang, Gio mengelus-elus punggung dan kepala Faith, serta membisikkan ‘it’s okay, Ayi, it’s okay’ berkali-kali.

So much for good memory.

Add a comment

Related posts:

The Top 12 Worst Places for a First Date

When considering what to do for a first date, there are some obvious venues that should be crossed off the list. That means saying no to strip clubs, nightspots, and gatherings full of your pals…

Slovak modals

Modal verbs are verbs expressing emotional, casual and other qualities of the action expressed by the infinitive that follows. Modal verbs are connectedto the infinitive of another verb, expressing…

2010 BMW 330i E90 Suspension Replacement

Cartisan recently carried out a BMW 330i E90 Suspension Replacement. The car had clocked around 92,000km on the odometer. The customer complained of clattering noises from the front end of the car…